• About WordPress
    • WordPress.org
    • Documentation
    • Support
    • Feedback
  • Log In
  • PROFIL
    • Sejarah Pendirian
    • Visi, Misi, dan Tujuan
    • Badan Otonom
  • PONDOK PESANTREN
    • Madrasah Al-Quran
    • Madrasah Diniyyah
  • PENDIDIKAN FORMAL
    • KB-TK Al-Azhar
    • SDI Plus Al-Azhar
    • SMPI Al-Azhar
  • KONTAK
  • PENDAFTARAN
  • SIAKAD
Perlu Bantuan?

(0321) 383 333
alazharpp@gmail.com
PP. Al Azhar
  • PROFIL
    • Sejarah Pendirian
    • Visi, Misi, dan Tujuan
    • Badan Otonom
  • PONDOK PESANTREN
    • Madrasah Al-Quran
    • Madrasah Diniyyah
  • PENDIDIKAN FORMAL
    • KB-TK Al-Azhar
    • SDI Plus Al-Azhar
    • SMPI Al-Azhar
  • KONTAK
  • PENDAFTARAN
  • SIAKAD

Kolom Pengasuh

  • Home
  • Blog
  • Kolom Pengasuh
  • Menjadi Ibrahim, Hajar, atau Ismail?

Menjadi Ibrahim, Hajar, atau Ismail?

  • Posted by Admin
  • Categories Kolom Pengasuh
  • Date 20 July 2021
  • Comments 0 comment

Oleh: Uswatun Hasanah (Kepala Madrasah Al-Qur’an Al-Azhar)

Saat Nabiyullah Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah Swt. untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail, Nabi Ibrahim tak lantas bertuhan dengan egois, ia meminta pendapat terlebih dahulu kepada putranya. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an surah Ash-Shaffat ayat 102, “innii araa fil manaami anni adzbahuka, fandzur maa dzaa taraa”. “Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu (tentang perintah ini)?”. Dikisahkan, Nabiyullah Ibrahim bermimpi hingga tiga kali, menandakan bahwa mimpinya merupakan ru’yatul haqq, bukan sekadar kembang tidur, atau mimpi yang berasal dari setan, dan mimpi tersebut merupakan wahyu atau perintah Allah.

Ada hal menarik dari pertanyaan “fandzur maa dzaa taraa”, seorang anak yang mulai beranjak dewasa diminta berpendapat terhadap keselamatan nyawanya sendiri, Nabi Ibrahim tentu saja meyakini bahwa mandat dari Tuhan harus dilaksanakan. Mendapatkan perintah tersebut, Nabi Ibrahim tidak lantas nego pada Tuhan, tetapi Nabi Ibrahim mempertimbangkan psikis seorang anak. Ia tidak menanyakan pada putranya “maukah kamu aku sembelih?”, tetapi “bagaimana pendapatmu?”, nalar digunakan dalam menyusuri serpihan hikmah dalam sebuah perintah. Kita sepakat Nabi Ibrahim gemar bermain logika dalam pencarian Tuhan sekalipun, Nabi Ibrahim juga pandai mengatur strategi dalam berdakwah, sebagaimana ia menghancurkan berhala-berhala kecil lalu meletakkan kapak penghancur berhala ke lengan berhala besar, ia menantang “Yang merusak berhala kecil adalah berhala paling besar!”. Sedangkan Nabi Ibrahim tahu bahwa mereka menganggap sembahan mereka sendiri tidak bernyawa, Nabi Ibrahim berkata “Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”. Cemerlang sekali!

Ibrahimkah kita? Yang mau meluangkan waktu bersama anak, mendengarkan isi hatinya, mencurahkan perasaannya, juga memperhatikan cita-citanya.

Ibrahimkah kita? Yang tidak memaksakan kehendak kita kepada anak sekalipun kehendak tersebut benar dan untuk kebaikan.

Teringat pesan Ning Alisa Wahid, putri dari (Allahu yarham) KH. Abdurrahman Wahid saat parenting yang diadakan secara daring oleh Alala, “Banyak orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi orang yang alim, salih atau salihah, dll, namun melupakan bagaimana caranya menjadi orang tua yang baik”. Dan, ya! Nabi Ibrahim berhasil menjadi orang tua yang baik dengan tidak memaksakan kehendaknya sekalipun kehendaknya tersebut merupakan perintah Tuhan. Terhadap putra kesayangannya, diberi hak berpendapat atas kehidupannya sendiri.

Ibrahimkah kita? Yang tidak keburu sambat pada Tuhan, tapi lebih memikirkan bagaimana bisa melaksanakan perintah dengan hati yang rida.

Perintah penyembelihan ini tentu saja didiskusikan dengan baik dengan istrinya, Sayyidah Hajar, Ibu Nabiyullah Ismail. Ia bergegas mengasah pisau untuk penyembelihan Nabiyullah Ismail. Tidak ada keraguan atau perasaan takut sedikit pun dalam hatinya, padahal ia tahu bahwa dengan pisau itulah putranya disembelih. Telah sempurna iman Siti Hajar, tiada gemuruh yang berkecamuk di dadanya sebab bimbang.

Hajarkah kita? Perempuan dengan ketauhidan yang paripurna, tidak menganggap syariat adalah luka kemanusiaan.

Hajarkah kita? Yang menilai perintah bukan sekadar kewajiban, namun sebentuk cinta yang dipersembahkan kepada Sang Mahacinta. Mahabbah, tingkatan yang berhasil dicapai Hajar menuju Rabb-nya. Cintanya memalingkannya terhadap segala sesuatu.

Nabiyullah Ibrahim, bahkan saat proses persiapan penyembelihan sempat digoda iblis, Nabi Ibrahim marah dan melempar iblis hingga tiga kali dengan kerikil, peristiwa ini pula yang melatarbelakangi perintah melempar jumrah tiga kali dalam ibadah haji.

Lalu bagaimana dengan Sang Kurban, Nabiyullah Ismail? “Yaa abatif’al maa tu’mar. Aku rida, Bapak. Lakukanlah perintah Tuhan!”. Dalam bahasa Arab, kata Abati yang berarti bapak, merupakan panggilan yang sangat lembut dan sarat kasih sayang kepada orang tua laki-laki. “Satajidunii, insyaa Allahu minas Shaabiriin”, “Insya Allah, Bapak, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Lihatlah, sepasang suami istri yang rida dengan perintah Tuhannya, sepasang suami istri yang bahagia menjalankan perintah Tuhannya, seorang bapak yang ketika itu berumur 90 tahun baru dikaruniai putra dan kurang lebih 13 tahun lamanya ditinggal berdakwah, setelah pulang berdakwah dan merindukan putranya yang beranjak remaja datanglah wahyu kepadanya berupa perintah untuk menyembelih putranya. Sang Khalilullah dengan suka cita melaksanakan perintah-Nya. Seorang ibu, yang membesarkan putranya di tengah paceklik dengan berbagai peristiwa dramatis dan bersejarah, termasuk sejarah sumur zamzam, dengan bangga mempersembahkan putranya, cintanya kepada Allah lebih besar dibanding cinta seorang ibu kepada putranya. Allah meluluskan tirakat Ibrahim dan Hajar. digantilah penyembelihan putra kinasihnya itu dengan seekor kambing. Selamatlah Nabiyullah Ismail. Puji syukur kepada Allah dengan segala takdir-Nya. Bersuka cita keluarga Nabiyullah Ibrahim sebab keberkahan yang didapatinya.

Ismailkah kita? Yang berbakti terhadap orang tua, tiada mendurhakai perintah Tuhannya.

Ismailkah kita? Yang rida menerima Allah Swt. sebagai Tuhan kita, yang rida melaksanakan perintah Allah Swt.

Ismailkah kita? Yang berkeyakinan bahwa kita semua hanyalah hamba Allah Swt. Kapan pun Ia mengambil jiwa kita, berpasrah kepada Tuhan adalah jalan yang paling mulia.

Persembahan cinta untuk kesempurnaan iman. Selamat Idul Adha 1442 H.

Tag:artikel idul adha, ibrahim. ismail, ibu nabi ismail, idul adha, kurban, qurban

  • Share:
author avatar
Admin

Previous post

Gerakan Santri Bermasker
20 July 2021

Next post

Memahami Kemanusiaan Perempuan Melalui Fikih Haid
6 April 2022

You may also like

dosa jariyah medsos
Dosa Jariah Media Sosial
15 April, 2022
medsos
Hukum Silaturrahmi Melalui Media Sosial
13 April, 2022
haid
Memahami Kemanusiaan Perempuan Melalui Fikih Haid
6 April, 2022

Leave A Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kategori

  • Artikel
  • Berita
  • Dongeng Anak
  • Hukum Islam
  • Khutbah Jumat
  • Kolom Pengasuh
  • Prestasi

Posting Terbaru

Dosa Jariah Media Sosial
15Apr2022
Hukum Silaturrahmi Melalui Media Sosial
13Apr2022
Memahami Kemanusiaan Perempuan Melalui Fikih Haid
06Apr2022

Eksplorasi

  • Visi, Misi & Tujuan
  • SMP Al-Azhar
  • SD Al-Azhar
  • TK Al-Azhar

Tautan Langsung

  • Agenda Kegiatan
  • Pengumuman
  • Tim Pendidik
  • Pendaftaran

Kategori

  • Kolom Pengasuh
  • Hukum Islam
  • Khutbah
  • Artikel

Hubungi Kami

  • alazharpp@gmail.com
  • 0321 383333, 383555
Facebook Instagram Youtube Google-play

© 2022 | PP. Al-Azhar