
Riyadloh dan Tirakat di Era Milenial
Oleh: Uswatun Hasanah (Kepala Madrasah Al-Qur’an Al-Azhar)
Riyadloh dan Tirakat adalah kata yang kerap dipakai orang tua kita untuk memaknai ‘puasa’, puasa dari segala hal yang melalaikan, menekan nafsu agar sampai kepada maqom-maqom tertentu di sisi Allah. Riyadhoh dan Tirakat adalah dua hal yang sama tapi sejatinya berbeda.
Riyadloh adalah belajar. Kita menjumpai beberapa orang yang puasa senin kamis, berdzikir, bersholawat dan melaksanakan beberapa amalan lainnya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang menginginkan sesuatu lebih sebagai wujud ikhtiar dari apa-apa yang diberikan Allah, ketenangan dan kehidupan yang layak menjadi salah satu tujuannya.
Seseorang yang masih dalam tingkat riyadloh tidak layak menganggap dirinya “sudah baik, sudah tirakat, sudah berdzikir, sudah melakukan banyak hal dan yakin kelak hidupnya nyaman dijamin Allah”. Lalu kapan berakhirnya riyadloh hingga naik ke maqom tirakat? Tidak ada batasnya. Jangan pernah menganggap diri kita ini sudah tirakat. Makna riyadloh artinya latihan atau belajar, sedangkan tirakat artinya adalah meninggalkan kesan bahwa dirinya sudah riyadloh, dan yang perlu digarisbawahi di sini, yang paling berhak menilai kita telah berhasil melakukan riyadloh/tirakat hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ciri-ciri orang riyadloh adalah istiqomah, ketika riyadlohnya menjadi istiqomah maka maqomnya menjadi tirakat, dan ciri orang yang tirakat adalah qona’ah 1Sikap rela menerima atau merasa cukup dengan apa yang didapat serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang berlebih-lebihan.. Wujud dari berhasilnya tirakat adalah jiwa-jiwa yang wira’i 2Wira’i berasal dari kata wara’ yang artinya menjaga diri atau bertakwa. Sehingga wira’i adalah malu berbuat maksiat kepada Allah dan manusia. Selain itu wira’i juga diartikan sebagai suatu sikap menjauhkan diri dengan hal-hal yang haram dan syubhat. dan zuhud 3Zuhud adalah melenyapkan keterkaitan hati dengan harta. Sehingga zuhud bukan berarti tidak kaya. Juga tidak identik dengan miskin. Orang kaya belum tentu tidak zuhud. Orang miskin juga belum pasti memiliki sikap zuhud. Karena zuhud adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan lahiriyah..
Apa saja bentuk dari riyadloh itu? Tentu saja banyak, istiqomah sholat fardlu, puasa senin kamis, sholat malam, sholat sunnah, membaca Alquran, sholat sunnah dengan bacaan-bacaan Alquran tertentu, amalan-amalan yang diijazahkan oleh para guru atau murabbirruh seperti puasa mutih, puasa daud, puasa tarkurruh, puasa ngrowot, puasa pati geni, , dsb. Dan fase riyadloh itu bagi orang-orang yang ibadah wajibnya sudah istiqomah.
Riyadloh dan tirakat menjadi budaya dan ciri khas pesantren, dilakukan oleh para kiai pengasuh pesantren dan juga santri, para kiai adalah tombak kehidupan bagi masyarakat, tidak asal melangkah sebelum melaksanakan beberapa amalan dalam rangka memohon sesuatu kepada Allah. Dikisahkan oleh Gus Muwafiq, Hadratu Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Muassis NU, suatu ketika disowani oleh Bung Karno untuk mentashih Pancasila yang telah dirumuskan apakah sudah sesuai dengan nilai-nilai Islam? Mbah Hasyim tidak lantas menjawabnya dengan tergesa-gesa, padahal Mbah Hasyim adalah seorang Guru Besar pakar Ilmu Hadis dan beberapa disiplin ilmu agama lainnya, Mbah Hasyim mauquf (menunda menjawab) sebab yang ditanyakan oleh Bung Karno terkait dengan dasar negara dan kemaslahatan kehidupan rakyat. Maka untuk menemukan jawabannya, Mbah Hasyim melakukan tirakat puasa selama tiga hari. Selama puasa tersebut, beliau mengkhatamkan Alquran dan membaca Alfatihah. Setiap membaca Alfatihah dan sampai pada ayat iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in, Mbah Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. Kemudian, setelah puasa tiga hari, Mbah Hasyim melakukan shalat istikharah dua rakaat. Rakaat pertama beliau membaca Surat Attaubah sebanyak 41 kali, sedangkan rakaat kedua membaca Surat Alkahfi sebanyak 41 kali. Kemudian beliau istirahat tidur. Sebelum tidur, Mbah Hasyim membaca ayat terakhir dari Surat Alkahfi sebanyak 11 kali. Paginya, melalui putranya Kyai Wachid Hasyim beliau menyampaikan hasil isyarat bahwa Pancasila telah sesuai dengan nilai-nilai Islam dan seluruh ajaran agama.
Di Tambakberas, Jombang, seorang tokoh dan pejuang NU KH. Hasbullah Said ketika istrinya, Nyai Latifah mengandung, Mbah Hasbullah melakukan tirakat dengan mengkhatamkan Alquran hingga 100 kali setiap kehamilan, artinya rata-rata Mbah Hasbullah akan mengkhatamkan Alquran dalam 2-3 hari. Tidak heran putra-putri Mbah Hasbullah ketika dewasa menjadi tokoh besar dan sosok yang berpengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mbah Said, pun saat sedang membangun pesantren Bahrul Ulum beliau tirakat tidak tidur selama dua tahun. Buah dari tirakat beliau, pesantren Bahrul Ulum melahirkan para ulama yang alim allamah.
Mbah Kiai Sehah melaksanakan tirakat berupa tidak tidur sepanjang malam dan beruzlah di dekat sungai, Mbah Sehah juga melatih perutnya agar tidak mudah gemar makanan. Caranya adalah apabila mau makan, maka makanan tersebut dicampuri kerikil kecil, sehingga ketika makan harus sabar memilih makanan yang bercampur kerikil. Beliau memang dipercaya memiliki karomah yang luar biasa, berupa suara layaknya halilintar, sekali Belanda berlaku tidak sopan kepada beliau maka dengan satu bentakan Si Belanda pun mati beserta kudanya.
Ulama perempuan pun tak luput dari riyadloh dan tirakat, Nyai Latifah selama mengandung tidak berhenti mengkhatamkan Alquran. Putra-putranya lahir menjadi kiai besar dan pemimpin pesantren. Ibunyai Rodliyyah Jazuli, Ploso Kediri. Adalah seorang perempuan yang tidak pernah berhenti berdzikir dan bersholawat, dawamul wudlu 4Selalu dalam keadaan tidak batal dari wudlu, beliau adalah perempuan berdikari, tidak mengandalkan uang pemberian dari suaminya (KH. Ahmad Djazuli Usman), beliau berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, berkah keistiqomahannya lahirlah putra-putri yang luar biasa, salah satunya yang terkenal dengan kemajdzubannya adalah Gus Miek. Ibunda Gus Dur, Nyai Solihah setiap akan menanak nasi tidak pernah luput dari menshalawati sebutir demi sebutir beras yang dipilihnya dari karung sebelum ditanak, dan tidak ada yang boleh menyentuh nasi tersebut sebelum dimakan oleh mertuanya yakni Mbah Hasyim, suaminya Mbah Wahid Hasyim dan putranya Gus Dur.
Laku riyadloh dan tirakat sebenarnya tidak diawali oleh para kiai, orang tua dan guru. Namun tirakat sudah dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu sebelum Baginda Nabi Muhammad dan para wali Allah. Puasa tidak berbicara 3 hari oleh Nabi Zakariya, puasa Daud, tirakat Maryam yang menyepi di Mihrab, tirakat Hajar Ibunda Nabi Ismail yang melakukan lari-lari kecil sepanjang Shofa dan Marwa. Tirakat Sunan Kalijaga yang bertapa menanti gurunya Sunan Bonang, tirakat Patih Gajah Mada yang tidak akan melepaskan puasa sebelum Nusantara bersatu, dsb.
Jika melihat dari laku riyadlah dan tirakat di atas mungkin tampak sangat begitu sulit dilaksanakan oleh orang biasa semacam kita. Lalu bagaimana wujud riyadloh dan tirakat untuk para orang tua dan guru dalam melatih spiritual dan mendidik anak kita?
Riyadloh dan tirakat tidak bisa kita jalankan sesuai kehendak kita, tetapi harus atas perintah guru. Guru sebagai murabbirruh atau guru spiritual yang lebih mengerti kadar kemampuan muridnya dalam menjalankan riyadloh. Maka sebelum melaksanakan tirakat, hendaknya terlebih dulu meminta persetujuan dari seorang guru.
KH Djamaluddin Ahmad, pada suatu kesempatan menyampaikan tidak boleh berlaku kasar kepada anak jika seorang anak melakukan tindakan yang kurang baik, anak harus ditirakati, tirakat orang tua bisa berupa sholat hajat 2 rokaat dengan niat agar seluruh putra-putrinya menjadi anak yang shalih-shalihah, tiap rokaat membaca fatihah 41 kali, dilaksanakan sehari sekali atau seminggu sekali, atau sebulan sekali dan atau setahun sekali. Ijazah tirakat ini diberikan oleh Syaikh Tajuddin. Kyai Jamal menambahkan agar orang tua puasa weton anak-anaknya, dengan harapan sifat-sifat dan karakter buruk yang melekat pada orang tua tidak diturunkan kepada anak-anaknya. Diutamakan yang puasa adalah ibunya, jika ibunya sedang haid atau berhalangan, maka yang puasa adalah bapaknya.
KH. Muhammad Nur Qomaruddin, memerintahkan untuk sering-sering bersedekah ditujukan untuk anak agar anak menjadi lembut hatinya, mengistiqomahkan wudlu, jika sedang berwudlu selain doa berwudlu, iringilah juga dengan niat wudlu ini untuk membersihkan hati anak-anak agar anak menjadi mudah dalam menghafalkan Alquran.
Gus Adib bin Abdul Jalil Mustaqim Tulungagung berpesan, seorang ibu jika menginginkan anak-anaknya menjadi orang yang shalih hendaklah tidak melepaskan 3 laku riyadloh atau salah satunya, yakni: Sholat fardlu tepat waktu dengan berjamaah, istiqomah qiyamullail dan melanggengkan membaca Alquran setiap harinya.
Allahu Yarham Ibunyai Hj. Marfuah Mojokerto mengatakan jika ingin memiliki anak yang sholih hendaknya selalu berbuat baik kepada suami serta tidak menyakiti hati suami.
Allahu yarham Ibunyai Hj. Mas Fatimah Muhajir mengatakan bahwa tirakat zaman sekarang tidak bisa disamakan dengan tirakat orang terdahulu yang ghirah spiritualnya begitu tinggi agar dekat dengan Tuhan. Di zaman yang serba enak ini, tirakat tidak hanya dengan puasa, tidak makan yang enak-enak atau qiyamullail, tapi justru tirakat yang tertinggi nilainya adalah tidak membicarakan keburukan orang lain.
Boleh jadi maqomnya di rumah, tapi dunia maya membawanya ke ranah sosial. Semakin sedikit orang yang keluar rumah namun jari menjadi wakil dari lisan. Komentar yang mencerca, komentar yang menyakiti, status menyindir, status memaki terkadang tidak bisa dihindarkan.
Mari meriyadlohkan diri untuk tidak sedikit-sedikit mengomentari. Mari menirakati diri dengan menjadi sufi di tengah-tengah ledakan informasi yang kerap menipu. Mari mempuasakan jari untuk tidak menyebarkan informasi yang belum valid sekalipun isinya baik.
Jangan sampai kelak anak-anak kita membaca tulisan buruk yang pernah ditulis oleh orang tuanya, karena rekam jejak digital tidak akan hilang begitu saja.
Tirakat seperti contoh di atas yang mana sanggup kita laksanakan?[]